Google Doodle : Prof. Samaun Samadikun

Google Doodle hari ini menampilkan seorang sosok asal Indonesia, Prof. Samaun Samadikun. Profil dan perjalanan Prof. Samaun, dapat ditemukan pada Wikipedia dan buku Sang Petani Silikon terbitan LIPI. Salah satu cerita yang pernah saya dengar, sepulang dari Stanford beliau bermimpi ada Silicon Valley di Indonesia. Beliau berhasil melobi Fairchild Semiconductor untuk menggerakkan industri semikonduktor Indonesia. Namun pemerintah pada saat itu tidak tertarik karena industri semikonduktor tidak padat karya, sementara Fairchild beranggapan sudah saatnya menerapkan padat teknologi. Fairchild pun akhirnya hengkang ke Malaysia.
FYI, Robert Noyce dan Gordon Moore adalah founder Fairchild yang kemudian mendirikan Intel.

Fun facts : secara tidak langsung Prof. Samaun juga memiliki andil terhadap Akhdani, kok bisa? Tentu saja, karena Prof. Samaun adalah guru bagi para mentor kami di PAU pada saat itu (Pak Kastam Astami, Pak Basuki Suhardiman, dkk). Ilmu dan cara berpikir yang kami terima dari mentor-mentor kami, sedikit banyak pasti ada pengaruh dari Prof. Samaun. Beliau juga menjadi guru bagi para aktivis seperti Pak Budi Rahardjo (semasa jadi mahasiswa tingkat 1, penulis pernah memakai user & password pak Budi untuk akses internet gratis di kampus, apalagi saya bukan mahasiswa Elektro, mohon maaf pak 😀 ) dan Pak Onno W. Purbo.

Cikal bakal Akhdani dimulai dari rapat-rapat 10 orang mahasiswa Informatika di lantai 2 gedung Labtek V ITB dan episode prequel kemudian berlanjut ke sebuah ruangan bekas gudang di gedung PAU ITB lantai 2. Walau bekas gudang, tapi ada meja, stop kontak listrik dan akses internet. Internet adalah barang mewah pada saat itu bung …. 🙂 . Pada era ini, seingat penulis, kami sempat sedikit membantu dan bekerja sama dengan beberapa tim riset PAU, seperti :

  • Radiosonde
  • Pemanfaatan Pengenalan Citra untuk menghitung jumlah kendaraan di pintu tol jasa marga
  • Remote surveilance dengan kompresi video via GPRS streaming pada pesawat RC (jaman itu belum ada drone, HSDPA apalagi LTE, action camera GoPro ya 🙂 )
  • AMR untuk membaca meter listrik secara otomatis
  • Mobile Telemedicine, perangkat ala koper James Bond berisi monitor (diambil dari LCD laptop), ECG, modem, dll. Memungkinkan tenaga kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan dan mengirim data kesehatan pada daerah rural

Episode di PAU memberikan banyak pengalaman dan melandasi pemikiran bahwa :

  • untuk mendapatkan impact yang lebih besar kita harus bisa bekerja sama dalam tim multi-disiplin
  • jangan terjebak dalam arogansi keilmuan atau pengkotak-kotakan, misalnya Informatika, Elektro, software vs hardware, marketing vs engineer. Semua punya peran masing-masing, saling mengisi.
  • jangan mengecilkan orang lain, tidak ada orang yang bisa sukses sendirian tanpa bantuan orang lain

Penulis sempat sekali bertemu Prof. Samaun dengan kemeja putihnya di lift PAU ITB. Beliau memperlihatkan gestur memberikan kesempatan pada penulis agar masuk lift terlebih dahulu ketimbang beliau, padahal apalah artinya penulis ini dibanding beliau. Aura beliau menunjukkan kesederhanaan dan respek kepada orang lain. Benar-benar manifestasi dari prinsip adab sebelum ilmu. Prinsip yang sayangnya makin dilupakan masyarakat sekarang di era internet dan sosial media yang kekinian.

Waktu itu, program-program inkubasi start up belum lah semeriah sekarang. Dua tahun di PAU, kami merasa tidak enak terus menerus dibantu, terutama oleh Pak Kastam. Kami kemudian memberanikan diri keluar dari zona nyaman untuk mandiri dan membuat perusahaan dengan nama Akhdani Reka Solusi, kantor pertama kami waktu itu di depan pasar Citamiang Bandung. Ruangan ngoprek di gedung PAU ITB lantai 2 kemudian kami estafetkan kepada adik kelas Informatika angkatan 2003. Di tahun yang sama dengan berdirinya Akhdani secara de facto, Prof. Samaun berpulang kepada Ilahi karena sakit.

Pak Harry Sufehmi (seorang praktisi IT) sewaktu SMA ternyata juga pernah bertemu dan mendapatkan inspirasi dari beliau. Semoga ke depan makin banyak tokoh seperti Prof. Samaun Samadikun. Visioner, humble, penuh mimpi dan dapat menjadi teladan bagi generasi muda, terutama dalam prinsip adab sebelum ilmu.

Bacaan lainnya :

Evaluasi Untuk Para Enterpreneur Pemula Part-2

Lanjutan dari tulisan sebelumnya

  1. Hati-hati dengan pendapatan dan gaya hidup

    Ketika bisnis mulai bagus, biasanya pendapatan akan mulai terlihat. Uang sering kali bisa mengubah karakter orang. Berhati-hatilah dengan sifat hati kita yang mudah berbolak-balik. Harap diingat bahwa uang hanyalah alat tukar, bukan tujuan. Kembali lagi ke tujuan awal kita ini bisnis untuk apa, diharapkan bisnis yang membawa manfaat. Pendapatan boleh naik, tapi gaya hidup tetap sederhana dan naikkan sedekah.

  2. Hati-hati dengan motivasi berlebihan

    Hati-hati dengan provokasi “Keluar Kerja!”, “Pakai Otak Kanan! Gak usah mikir” dan jebakan-jebakan semangat lainnya yang kadang menghilangkan akal sehat. Lagi-lagi ini pisau bermata dua, maksudnya secara positif di sini adalah penyemangat bagi orang- orang yang sudah siap untuk berbisnis tapi belum juga berani full berbisnis. Penyemangat ini bukan untuk mereka yang mudah putus asa, tidak punya basic berbisnis, dan masih labil.

    Kita harus paham, ketika memutuskan berbisnis itu cuma dua kemungkinannya: tambah sejahtera dan tambah bangkrut. Dan segala hal yang diputuskan tanpa persiapan selalu gagal pada akhirnya. Bisnis butuh banyak sekali persiapan, jangan terburu-buru. Banyak juga karyawan yang gajinya besar (bisa mencapai ratusan juta) dan hidupnya tenang-tenang saja.

    Jadi, tidak bisa menjadi alasan yang 100% benar, jika kita memilih menjadi pebisnis dengan tujuan untuk mendapatkan uang yang banyak, karena jadi karyawan pun sangat bisa. Jangan sebagai pebisnis kita banyak omong, merasa tinggi dan menghakimi profesi karyawan, sementara pendapatan kita bisa jadi belum sampai sepersepuluh dari karyawan.

  3. Fokus

    Walau akan banyak peluang yang terlewat, dengan fokus kita akan belajar memahami kuda-kuda yang kuat, kesabaran, logika, pola, dan kesiapan ketika ada peluang yang datang.

  4. Tidak ada salahnya bekerja lebih dahulu

    Tidak semua orang bisa langsung menjadi pebisnis. Ketika Anda bekerja
    terlebih dulu, Anda dapat melihat dari hulu ke hilir bagaimana keseluruhan industrinya sampai akar-akarnya. Pengalaman ini akan membantu Anda ketika nanti berbisnis. Jika Anda tidak mau belajar terlebih dahulu, maka carilah partner yang sudah memahami industrinya sampai ke akar-akarnya. Pertanyaannya, apakah ada partner berpengalaman yang mau bermitra dengan orang yang belum berilmu? Bisa saja jika Anda direkomendasikan oleh seseorang yang sangat terpercaya. Di sinilah pentingnya integritas diri dan kepercayaan dari pihak lain.

  5. Catat dan coba mengerti akuntansi

    Bisnis berbicara tentang angka, bukan perasaan. Anda harus bisa menjawab pertanyaan mengenai performa bisnis dengan angka-angka, konsekuensinya semua harus tercatat. Pencatatan dalam bisnis adalah akar, oleh karena itu, suka tidak suka kita harus mempelajari ilmu akuntansi. Apabila tidak ingin mengerti akuntansi, ajak partner yang mengerti, namun tidak serta-merta menghilangkan kewajiban bagi Anda untuk mempelajari akuntansi. Kembali lagi, apakah ada partner yang mau diajak oleh orang yang malas belajar?

  6. Buatlah bisnis untuk memenuhi kebutuhan pasar, bukan keinginan pribadi/tim

    Disinilah riset diperlukan, secara online kita punya tools semacam google keyword planner tools, google trend, FB audience insight, hingga paper-paper baik secara makro maupun mikro. Butuh riset mendalam, jangan berbasis asumsi. Bisnis itu dunia riil, apalagi jika menjadi tulang punggung utama, kalau kita tidak dapat pendapatan, ya bakal sengsara.

  7. Perbaiki hubungan dengan orang tua dan pasangan hidup

    Boleh percaya atau tidak, jika hubungan dengan orang tua tersumbat, maka aliran rezeki juga akan tersumbat. Jangan-jangan segala usaha, ilmu, doa, tim kompak tapi kok masih mentok juga, bisa jadi kita masih terhambat karena punya dosa terhadap orang tua. Demikian juga terhadap pasangan hidup (suami atau istri).

  8. Jadilah SUBYEK, jangan terus menerus jadi OBYEK

    Anda harus sadari memiliki kuasa atas diri sendiri. Dalam konteks bisnis kita juga harus menjadi pemimpin, sebelum berkuasa atas orang, kita harus bisa menguasai diri kita sendiri terlebih dahulu.

    Leadership adalah aspek penting dalam bisnis. Ketika kita masih jadi obyek yang disuruh-suruh, karena kita sendiri tidak memiliki inisiatif, maka bisnis kita tak akan pernah maju. Jadilah subyek, mulailah dengan berinisiatif atas masalah-masalah yang terjadi di sekitar kita. Hadapi masalah dan selesaikan, jangan nunggu disuruh, karena kita bukan pesuruh.

    Dan bedakan antara leader dan boss. Boss hanya sekedar menyuruh /  memberikan perintah, sementara leader akan cenderung menggerakkan melalui  teladan dan contoh.

Meja Knockdown dan Sembilan Tahun Akhdani

Akhir bulan April lalu, putra penulis berusia 9 tahun. Ingatan pun kembali ke 9 tahun yang lalu, ketika penulis menunggu istri melahirkan, teman-teman di kantor merakit meja knock down, memotong kabel listrik dan LAN, membuat ekstensi stop kontak dan melakukan cabling di rumah kontrakan di kawasan pasar Citamiang yang kami jadikan kantor. Berarti, usia perusahaan Akhdani secara de facto sudah berumur 9 tahun juga.

Ada beberapa versi penelitian mengenai survival rate perusahaan baru, bahwa perusahaan yang bertahan melewati masa 1 tahun = x%, 2 tahun = y%, 3 tahun = z% dan seterusnya. Hasilnya mengarah pada kesimpulan yang mirip, bahwa banyak perusahaan yang gagal sebelum berusia 5 tahun dan makin sedikit lagi yang berusia 10 tahun. Dari aspek survival, Akhdani sudah terbukti sukses bertahan selama 9 tahun. Namun bila dilihat dari aspek-aspek fisik yang “kasat mata”, sah-sah saja jika orang menilai kesuksesan Akhdani belumlah impresif.

Jujur saja, sepanjang perjalanan selalu muncul godaan untuk memperlihatkan kesuksesan fisik seperti menyewa kantor yang “representatif” atau hal-hal yang bersifat premature scaling lainnya. Bagaimana tidak tergoda, melihat perusahaan lain (seangkatan atau bahkan lebih muda) berekspansi dengan agresif, merekrut banyak karyawan brillian dengan gaji relatif besar atau menyewa kantor yang representatif di kawasan perkantoran Jakarta.

Namun, dahulu salah seorang mentor kami memberi wejangan :

  1. Bangun dan matangkan “isi” terlebih dahulu, jangan “bungkus”. Jika “isi” berkembang, “bungkus” akan mengikuti dengan sendirinya.
  2. Definisi mengenai kesuksesan itu relatif, masing-masing perusahaan atau individu dapat memiliki definisi suksesnya sendiri. Parameter sukses tertentu menurut orang lain, belum tentu sesuai bagi kita
  3. Pikirkan cara untuk membangun perusahaan yang langgeng, tidak sekedar tumbuh dengan cepat atau parameter fisik semata.
  4. Mindset, kesabaran dan reputasi lebih penting ketimbang modal finansial.

Sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali, fundamental usaha itu sesungguhnya hanyalah kepercayaan dan daya tahan. Ada orang yang bertahan 6-7 tahun sampai usahanya benar-benar meledak dan ia mulai menangguk untung. Namun ada yang hanya bertahan dua tahun saja. Keduanya sama-sama menghabiskan total biaya yang sama. Sekarang, Akhdani ternyata bisa bertahan lebih lama ketimbang beberapa perusahaan yang pada waktu itu lebih keren dan ekspansif. Apakah mereka gagal bertahan karena premature scaling? Wallahu’alam, mungkin kami hanya lebih beruntung saja ….

Kembali ke masalah sukses atau tidak sukses, jika ada pertanyaan prestasi apa yang membanggakan selama 9 tahun terakhir? Selain dari usia perusahaan, jika dilihat dari aspek yang lebih luas, dari kacamata stakeholder (di mana karyawan adalah salah satu elemen stakeholder), maka menurut pendapat pribadi penulis, prestasi tersebut berupa konsistensi dan disiplin dalam penggajian. Sejak Mei 2006, Akhdani selalu konsisten tepat waktu untuk masalah payroll, selama 9×12(+1 THR) bulan tidak ada keterlambatan sekalipun. Mengapa ini kami anggap sebagai prestasi? Karena bagi kami hal tersebut adalah value yang sangat-sangat penting. Ada beberapa perusahaan yang lebih terkenal, kantornya keren, petinggi perusahaan pakai mobil keren, namun pernah mengalami keterlambatan gaji, bahkan ada yang menelantarkan karyawan.

Bagi korporasi yang memiliki akses kepada permodalan, hal tersebut mungkin hal yang biasa saja. Namun bagi Akhdani (yang didirikan dengan modal meja dan laptop), itu adalah prestasi tersendiri. IMHO, melakukan pencapaian kecil namun konsisten bisa jadi lebih sulit ketimbang pencapaian mengesankan yang bersifat single shot. Misalnya, masyarakat cenderung lebih menyukai berinfak besar pada bulan Ramadhan saja, ketimbang berinfak lebih kecil namun konsisten sepanjang tahun.

Saat ini, sebagian besar meja-meja knock down murah dan ekstensi stop kontak yang dirakit 9 tahun lalu masih berfungsi. Begitu juga dengan laptop biru bongsor dengan RAM 512 MB…..So, the stones are still rolling …. mari menuju 10 tahun Akhdani … 😉

-ZH-

Inspirasi :

  1. http://blog.startupcompass.co/discover-the-patterns-of-successful-internet
  2. http://www.washingtonpost.com/blogs/fact-checker/wp/2014/01/27/do-9-out-of-10-new-businesses-fail-as-rand-paul-claims/
  3. http://www.ciputra-uceo.net/blog/2015/5/12/umur-perusahaan-definisi-dan-analisa-selama-4-tahun
  4. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/05/06/054500826/Fenomena.Bisnis.Kuliner.di.Jalan.Senopati.Jakarta
  5. http://www.quora.com/What-percentage-of-startups-fail