Fase Requirement Engineering merupakan proses memahami kebutuhan sistem, baik dari segi bisnis, kebutuhan fungsional, ataupun dari segi interaksi pengguna dengan sistem nantinya.
Tujuan dilakukannya fase Requirement Engineering adalah untuk menyamakan presepsi setiap pemangku kepentingan yang terlibat, agar dapat menghasilkan solusi yang efektif dan efisien.
Fase ini terdiri dari beberapa tahapan:
Identifikasi permasalahan
Analisa kebutuhan pengguna
Klasifikasi kebutuhan pengguna
Pemodelan sistem
Negosiasi dan spesifikasi kebutuhan
Validasi kebutuhan
Identifikasi Permasalahan
Tahapan ini merupakan awal dari proses Requirement Engineering. Identifikasi permasalahan biasanya dilakukan menggunakan teknik kolaborasi meeting yang akan dihadiri oleh pihak user atau pengguna, serta vendor atau tim yang akan melakukan pengembangan sistem. Tahapan ini dapat juga disebut Requirement Gathering.
Tujuan utama dari Requirement Gathering adalah memahami permasalahan yang dihadapi oleh user yang kemudian dilanjutkan dengan penawaran solusi secara garis besar.
Analisa Kebutuhan Pengguna
Tahapan ini merupakan tindak lanjut atas informasi yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Pemasalahan akan dipetakan menjadi poin-poin kebutuhan yang nantinya akan direalisasikan dalam bentuk fitur-fitur pada sistem yang dikembangkan.
Klasifikasi Kebutuhan Pengguna
Setelah diperoleh daftar kebutuhan pengguna, maka selanjutnya akan dilakukan klasifikasi kebutuhan berdasarkan level kepentingannya, yaitu:
Normal Requirement (Kebutuhan objektif sesuai dengan permintaan user)
Expected Requirement (Kebutuhan dasar sebuah sistem)
Exciting Requirement (Kebutuhan tambahan yang berada di luar ekspektasi user)
Klasifikasi kebutuhan dilakukan untuk memudahkan tim pengembang dalam menentukan prioritas ketika proses pengerjaan nantinya.
Pemodelan Sistem
Tahapan ini bertujuan untuk menggambarkan sistem dalam bentuk dokumen teknis untuk memperjelas elemen apa saja yang dibutuhkan, bagaimana hubungan antar entitas, serta bagaimana behavior atau perilaku sistem atas berbagai kondisi yang diminta oleh setiap aktor.
Pemodelan dapat dilakukan menggunakan Use Case Skenario ataupun Use Case Diagram, UML, Class Diagram, ataupun Prototype sistem.
Negosiasi dan Spesifikasi Kebutuhan
Setelah dilakukan pemodelan, gambaran alur serta fungsional sistem akan semakin jelas. Tahapan berikutnya adalah melakukan diskusi dan negosiasi antara vendor dan user untuk menentukan prioritas pada proses pengembangan, biaya yang dibutuhkan, risiko yang akan ditimbulkan, serta kemungkinan untuk menggabungkan, memodifikasi atau bahkan mengeliminasi kebutuhan-kebutuhan yang telah dituliskan di awal agar mencapai kesepakatan bersama.
Hasil terbaik negosiasi adalah terbentuknya Project Plan dimana pihak user dapat memperoleh sistem yang diinginkan sesuai spesifikasi yang telah diminta, dan pihak vendor dapat bekerja dengan realistis, mendapatkan upah yang sesuai, serta deadline yang wajar.
Validasi Kebutuhan
Setelah proses negosiasi menghasilkan kesepakatan bersama, maka tahapan berikutnya adalah proses validasi dari kedua belah pihak yaitu user dan vendor. Hal ini dilakukan untuk mencegah kesalahan interpretasi, kurangnya informasi, inkonsistensi, serta kemungkinan tidak terpenuhinya kebutuhan yang telah disepakati di awal.
Jika seluruh informasi telah dinyatakan valid, maka dilanjutkan dengan proses pengembangan sistem sesuai dengan kebutuhan yang telah dituliskan dalam dokumen Requirement Engineering.
Dalam beberapa kasus, proses Requirement Engineering dapat berlangsung secara paralel atau beriringan dengan proses pengembangan sistem, tergantung pada kebutuhan setiap projectnya. Semakin banyak pemangku kepentingan yang terlibat, maka akan bertambah pula kebutuhan yang harus diidentifikasi. Maka dibutuhkan kemampuan manajemen informasi dan pendokumentasian yang baik, agar memudahkan pelacakan perubahan sepanjang proses pengembangan.
Beberapa kendala yang memungkinkan terjadi pada proses Requirement Engineering adalah:
User kesulitan dalam mengkomunikasikan kebutuhannya.
Terlalu banyak pemangku kepentingan yang terlibat, sehingga menyulitkan dalam proses pengambilan keputusan.
Ketidaksesuaian antara permintaan, deadline, serta budget yang ditawarkan.
It’s your worst nightmare. A customer walks into your office, sits down, looks you straight in the eye, and says, “I know you think you understand what I said, but what you don’t understand is what I said is not what I meant.” Invariably, this happens late -Ralph Young
Reference: Software Engineering A Practitioner’s Approach / Roger S. Pressman / Seventh Edition
Python telah lama menjadi salah satu bahasa pemrograman yang paling populer, dan salah satu alasan utama kepopulerannya adalah kemampuan untuk mengembangkan aplikasi web dengan cepat dan efisien. Python memiliki beragam framework yang sering digunakan dalam pengembangan berbagai jenis aplikasi, diantaranya seperti framework Flask, Pyramid, Tornado dan Falcon. Namun yang paling populer dan banyak digunakan adalahan Framework Django, sebuah alat yang mempermudah pengembangan aplikasi web yang kuat dan skalabel. Artikel ini akan membahas bagaimana Python, bersama dengan Django, memungkinkan pengembangan aplikasi web yang efisien dan kuat.
Python: Bahasa Pemrograman yang Populer
Faktanya menurut IEE Spectrum mengatakan bahwa python adalah bahasa pemrograman paling populer. Sebelum kita membahas Django, mari tinjau mengapa Python menjadi pilihan utama dalam pengembangan web
Sintaksis yang Mudah Dipahami: Python dikenal dengan sintaksisnya yang sederhana dan mudah dipahami. Ini membuatnya menjadi bahasa yang ideal untuk pemula dan pengembang yang ingin fokus pada logika aplikasi daripada menangani kompleksitas sintaksis.
Ekosistem yang Kaya: Python memiliki ekosistem yang kaya dengan berbagai pustaka dan framework yang mendukung pengembangan web, analisis data, kecerdasan buatan, dan banyak lagi. Ini berarti Anda dapat dengan mudah mengakses alat-alat yang diperlukan untuk tugas-tugas khusus dalam pengembangan web.
Komunitas yang Besar: Python memiliki komunitas yang besar dan beragam. Komunitas ini menyediakan dukungan, tutorial, dan sumber daya yang berlimpah, membuatnya mudah untuk menyelesaikan masalah dan memperdalam pengetahuan Anda.
Kemampuan Cross-Platform: Python dapat berjalan di berbagai platform, termasuk Windows, macOS, dan Linux. Ini membuatnya cocok untuk pengembangan aplikasi web yang bersifat lintas platform.
Django: The Web Framework for Perfectionists with Deadlines
Menurut penelitian yang dilakukan dengan judul “Pemanfaatan Python dan Framework Django Sebagai Dashboard Sistem Informasi Pengelolaan Skripsi Pada STIMIK Pontianak” (Gat,2023) mengatakan bahwa Bahasa pemrograman Python dan framework Django hadir dengan kesederhaan, memiliki sintaks yang mudah dipahami untuk dibaca dan juga menyedikan banyak library yang siap dipergunakan. Dari segi keamanan, python menawarkan keamanan yang lebih kuat dari framework kebanyakan bahasa pemrograman lainnya. Hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa, bahasa pemrograman Python dengan framework Django yang dilengkapi dengan banyak fitur dan library yang lengkap, mampu menghasilkan sistem informasi pengelolaan skripsi dengan mudah dan cepat.
Hal yang paling menarik dari Django adalah arsitektur sistem MTV (Model, Template, View) yang dimilikinya, berbeda dengan kebanyakan framework yang menggunakan sistem MVC (Model, View, Control) hal ini merupakan setara namun istilahnya saja yang berbeda.
Model mewakili struktur data aplikasi Anda dan berfungsi untuk berinteraksi dengan basis data.
View bertanggung jawab untuk mengatur logika presentasi dan mengatur bagaimana data dari model ditampilkan kepada pengguna.
Template adalah komponen yang mengontrol tampilan akhir yang diberikan kepada pengguna, seringkali dalam bentuk halaman web HTML.
Berikut adalah 10 keunggulan framework Django dibandingkan beberpa framework python lainnya:
Kekuatan Batteries-Included: Django sering dijuluki sebagai “framework yang memiliki baterai terisi penuh” karena menyertakan banyak komponen bawaan (seperti ORM, sistem admin, sistem otentikasi, dll.) yang membuat pengembangan web lebih cepat dan mudah. Ini mengurangi kebutuhan untuk mencari pustaka pihak ketiga atau menggabungkan berbagai komponen sendiri.
ORM Kuat: Django dilengkapi dengan Django ORM (Object-Relational Mapping) yang kuat, yang memungkinkan Anda berinteraksi dengan basis data relasional tanpa harus menulis SQL secara eksplisit. Ini mempermudah pemodelan dan pengaksesan data.
Sistem Admin yang Kuat: Django menyertakan sistem admin bawaan yang memungkinkan Anda membuat antarmuka administrasi web untuk aplikasi Anda dengan sedikit atau tanpa penulisan kode tambahan. Ini sangat berguna untuk mengelola data aplikasi Anda.
Dokumentasi yang Luar Biasa: Django memiliki dokumentasi yang sangat baik dan komprehensif, yang membuatnya mudah bagi pengembang baru untuk memahami dan memulai dengan framework ini. Dokumentasi yang baik juga membantu dalam pemeliharaan dan pengembangan aplikasi.
Keamanan Terintegrasi: Django menerapkan banyak praktik keamanan terbaik secara bawaan, termasuk proteksi terhadap serangan umum seperti SQL injection, Cross-Site Scripting (XSS), dan Cross-Site Request Forgery (CSRF). Ini membantu menjaga aplikasi Anda aman secara default.
Skalabilitas: Meskipun Django cocok untuk proyek-proyek kecil, itu juga dapat digunakan untuk proyek-proyek besar dan rumit. Dengan desain yang kuat dan kemampuan untuk membagi aplikasi menjadi komponen yang terpisah, Anda dapat mengembangkan aplikasi yang sangat skalabel.
Dukungan Komunitas dan Ekosistem: Django memiliki komunitas yang besar dan aktif, sehingga Anda dapat dengan mudah menemukan dukungan, tutorial, dan pustaka pihak ketiga yang memperluas fungsionalitas Django.
Ketersediaan Hosting dan Deployment yang Luas: Ada banyak penyedia hosting web dan layanan PaaS yang mendukung Django, membuatnya mudah untuk mendeploy aplikasi Anda secara online.
Berfokus pada Prinsip “Don’t Repeat Yourself” (DRY): Django mendorong praktik pengembangan yang menghindari pengulangan kode (DRY) dengan menyediakan alat-alat seperti template dan middleware yang memungkinkan Anda mengorganisir kode Anda dengan baik.
Desain URL yang Elegan: Django memiliki sistem routing URL yang sangat baik yang memungkinkan Anda mendefinisikan pola URL dengan mudah, membuat aplikasi Anda lebih terstruktur dan mudah dipahami.
Namun, penting untuk diingat bahwa setiap framework memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pilihan framework web Python terbaik tergantung pada kebutuhan proyek Anda dan preferensi pribadi Anda sebagai pengembang.
Kesimpulan:
Python dengan Django adalah kombinasi yang sangat kuat untuk pengembangan aplikasi web. Python memberikan sintaksis yang mudah dipahami, ekosistem yang kaya, dan dukungan komunitas yang besar, sementara Django menawarkan produktivitas tinggi, keamanan terintegrasi, dan kemampuan skalabilitas. Kombinasi ini membuat Python dan Django menjadi pilihan yang luar biasa untuk pengembangan aplikasi web yang efisien dan andal. Jika Anda ingin membangun aplikasi web, pertimbangkan untuk memulai dengan Python dan Django untuk mendapatkan hasil terbaik dalam waktu singkat.
Judul Buku: Software Engineering
Edisi : Tenth Edition
Pengarang : Ian Sommerville
Penerbit : Pearson Education Limited
Bagian yang dibaca
Bab 2 : Software Processes
Halaman : 43 s.d 65
Software Process adalah serangkaian aktivitas pada pembuatan perangkat lunak.
Ada 4 aktivitas dasar dalam rekaya perangkat lunak yaitu:
Specification, menentukan spesifikasi dari fungsionalitas perangkat lunak dan batasan pengoperasiannya.
Design and implementation, pengembangan perangkat lunak yang sesuai dengan spesifikasi diatas.
Validation, validasi perangkat lunak Perangkat untuk memastikan bahwa perangkat lunak tersebut berfungsi diinginkan pelanggan.
Evolution, evolusi perangkat lunak untuk memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan
Software process model atau yang biasa disebut Software Development Life Cyctle (SDLC) adalah suatu representasi sederhana dari rangkaian proses pengembangan software. Dari proses model kita hanya melihat kerangka proses, tetapi tidak melihat detail dari aktivitas masing-masing proses tersebut.
Pada buku ini dijelaskan sejumlah model proses yang sangat umum (paradigma proses) dan biasa digunakan dalam membuat rekayasa perangkat lunak yang lebih spesifik. Berikut ini akan dijelaskan beberapa model proses yang umum digunakan:
1. The Waterfall Model
Tahapan pada model ini dari satu fase ke fase lainnya bersifat cascade, hal ini lah yang menjadikan proses model ini dikenal sebagai model waterfall.Berikut ini adalah tahapan pengembangan software pada model waterfall:
1. Requirements analysis and definition
Pada tahap ini dilakukan analisis requirement dan batasan-batasan pembuatan aplikasi. Hasil dari analisis akan didefinisikan sebagai spesifikasi dari sistem yang dibuat.
2. System and software design
Pada tahap ini dilakukan desain sistem dan aplikasi seperti membuat desain arsitektur sistem secara keseluruhan untuk hardware dan software yang digunakannya.
3. Implementation and unit testing
Tahap ini adalah pembangunan perangkat lunak, selama pembangunan perangkat lunak berlangsung dilakukan juga unit tes terhadap aplikasi untuk memastikan perangkat lunak yang dibuat memenuhi spesifikasi yang telah dibuat.
4. Integration and system testing
Pada tahap ini dilakukan integrasi dari modul-modul yang sudah dibuat sebelumnya dan diuji sebagai sebuah sistem yang lengkap. Pengujian dilakukan untuk memastikan perangkat lunak telah memenuhi semua requirement-nya. Setelah pengujian selesai, perangkat lunak diserahkan ke pelanggan.
5. Operation and maintenance
Pada tahap terakhir ini sistem diinstal di environmentproduction untuk dijalankan. Selama sistem berjalan dilakukan pemeliharaan berupa perbaikan bug.
Model waterfall ini cocok untuk pengembangan software yang memerlukan banyak biaya produksi. Setiap proses yang dilakukan tidak saling tumpah tindih karena untuk melanjutkan fase berikutnya harus menunggu fase sebelumnya benar-benar selesai. Hal ini menjadikan model ini kurang cocok untuk diimplementasi dalam pembangunan software dengan kompleksitas yang tinggi.
2. Incremental Development
Pembangunan inkremental adalah pengembangan software yang dibuat berdasarakan rancangan awal yang dipecah menjadi beberapa fungsi atau bagian sehingga pengembangan software dilakukan secara bertahap. Untuk increment pertama dilakukan pengembangan fitur-fitur utama sesuai dengan spesifikasi kebutuhan aplikasi yang telah didefinisikan diawal pekerjaan. Beberapa modul atau fitur yang telah dibangun dapat langsung dievaluasi lebih awal oleh klien untuk dilihat apakah sistem sudah sesuai kebutuhan. Untuk modifikasi fitur yang lebih canggih dapat dikerjakan pada inkremen selanjutnya dengan tetap memperhatikan timeline penyelesaian proyek.
Dengan mengembangkan software secara bertahap ini akan lebih murah dari segi biaya dan mempermudah dalam melakukan perubahan pada software yang sedang dikembangkan. Tetapi model ini tidak cocok diimplementasi dalam pembangunan sistem yang besar, kompleks, dan berjangka watu yang panjang. Karena sistem yang besar memerlukan kerangka kerja dan arsitektur yang stabil.
3. Integration and Configuration
Proses ini melakukan pendekatan yang berorientasi penggunaan kembali software dengan mengintegrasikannya. Tahapan porses model ini yaitu:
Requirement Specification, tahap ini melakukan deskripsi singkat mengenai pesyaratan penting dan fitur sistem yang akan dibangun.
Software discovery and evaluation, berdasarkan requirement yang sudah dibuat dilakukan pencarian komponen dan sistem yang menyediakan fungsionalitas yang diperlukan lalu dievaluasi untuk melihat apakah komponen tersebut benar-benar penting dan secara umum cocok diimplementasi pada sistem yang akan dibangun.
Requirements refinement
Application system configuration, jika sistem aplikasi siap pakai dan memenuhi persayaratan yang telah ada, maka sistem dapat dikonfigurasi dan digunakan dalam pembuatan sistem baru.
Component adaption and integration, jika tidak ada sistem yang siap pakai, maka masing-masing komponen yang dapat digunakan kembali akan dimodifikasi dan komponen baru akan dikembangkan. Nantinya komponen-komponen ini akan dintegrasikan untuk membuat suatu sistem.
Dengan menggunakan model ini maka dapat mengurangi biaya pengembangan dan delivery software cenderung lebih cepat.
Pada proses pengembangan software juga terdapat beberapa aktivitas untuk mengatasi perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan pembuatan Prototipe yang bisa membantu mengeksplorasi solusi software dan dalam pembuatan antarmuka. Atau bisa dengan melakukan proses penyampaian yang bertahap sehingga perubahan dapat dilakukan tanpa mengganggu sistem secara keseluruhan. Lalu lakukanlan proses improvement dari pengembangan software yang telah dilakukan sehingga dapat meningkatkan kualitas software yang dibuat.
Kesimpulan:
Pada buku ini dijelaskan proses model dan aktivitasnya yang umum digunakan dalam software development. Setiap tahapan pada masing-masing proses model dijelaskan dengan rinci sampai dengan keuntungan dan kekurangannya. Selain membahas proses model, pada buku ini dijelaskan aktivitas untuk mengatasi perubahan dalam pengambangan software, dan bagaimana kita melakukan proses improvement-nya. Sehingga buku ini dapat dijadikan referensi untuk mempelajari software processes model. Dengan mengetahui tentang beberapa proses model ini dapat memudahkan tim pengembang dalam memilih model proses yang sesuai dengan pekerjannya dan dapar menerapkan sehingga dapat membantu tim pengembang memahami keseluruhan proses bisnis dan proses pengembangan software dapat berjalan dengan efektif.
Ringkasan Agile Software Development Metode agile adalah metode pengembangan berulang yang berfokus pada pengurangan biaya overhead dan proses dokumentasi serta pengiriman perangkat lunak tambahan. Metode ini cocok untuk pengembangan aplikasi dimana persyaratan sistem biasanya berubah dengan cepat, kemudian mengusulkan persyaratan baru dan perubahan untuk disertakan dalam iterasi sistem selanjutnya selama proses pengembangan.
Scrum merupakan metode agile yang telah muncul sebagai metode yang paling banyak digunakan. Proses scrum atau siklus sprint menghasilkan peningkatan produk dari setiap iterasi proses, kemudian dapat dikirimkan ke pelanggan. Titik awal siklus sprint scrum adalah product backlog. Product backlog merupakan daftar dari item seperti fitur produk, dokumen requirement, daftar cerita pengguna, atau deskripsi lain dari software yang akan dikembangkan oleh tim Scrum. Kemudian seluruh tim dilibatkan dalam memilih item mana yang memiliki prioritas tertinggi dan memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap sprint.
Dalam berbagai kisah sukses Scrum (Schatz and Abdelshafi 2005; Mulder and van Vliet 2008; Bellouiti 2009), hal-hal yang disukai pengguna tentang metode Scrum adalah:
Produk dipecah menjadi serangkaian bagian yang dapat dikelola bersamaan dan dipahami oleh para pemangku kepentingan.
Perubahan requirement saat pengembangan software tidak menghambat kemajuan progress.
Seluruh tim dapat melihat progress pengerjaan produk, sehingga komunikasi dan semangat tim meningkat.
Pelanggan melihat kemajuan progress, deliverable tepat waktu, dan mendapatkan feedback tentang produk dengan jangka waktu yang cukup pendek.
Kepercayaan antara pelanggan dan pengembang terjalin, dimana setiap pelanggan mengharapkan produk berhasil dan sesuai dengan yang diharapkan.
Diketahui sebagian besar software engineering melakukan pemeliharaan dan pengembangan dari sistem yang ada. Berikut adalah keunggulan pada metode agile software development:
Up to date, karena lebih fleksibel dan menerima perubahan berkelanjutan.
Resource yang dibutuhkan tidak terlalu banyak.
Alur kerja lebih singkat dan efisien, sehingga kinerja tim menjadi lebih stabil.
Interaksi antara client dan developer menjadi lebih intens dan responsif terhadap kebutuhan pengembangan software.
Tetapi bagaimana jika business requirement saat pemeliharaan perangkat lunak melibatkan sistem kustom yang harus diubah, tidak ada konsensus yang jelas mengenai kesesuaiannya?
Tiga jenis masalah dapat terjadi:
Kurangnya dokumentasi produk dari pembangunan perangkat lunak sebelumnya
Menjaga keterlibatan pelanggan dalam proses pengembangan
Tim pengembangan harus dapat memahami perangkat lunak sebelumnya
Kesimpulan
Menurut saya buku ini sangat menarik untuk pembaca yang ingin mengetahui teknik agile development seperti user stories, refactoring, pair programming and test-first development. Pada buku ini pembaca juga dapat memahami perbedaan antara metode agile software development dengan plan-driven development, dan isu-isu pada scaling agile methods.
Hallo – hallo sahabat Auls, aku mau sedikit sharing nih dari buku yang udah aku baca
Pada masa kini, sistem fuzzy berkembang dengan pesat. Banyak sistem fuzzy yang dikembangkan menyelesaikan permasalahan – permasalahan yang terjadi di dunia nyata. Permasalah – permasalahan ini mencakup berbagai bidang antara lain bidang kendali, bidang manajemen, bidang rantai pasok, bidang telekomunikasi, dan lain – lain. Pada bab ” Aplikasi Praktis Fuzzy Dunia Nyata” akan membahas aplikasi praktis sitem fuzzy yang digunakan untuk menyelesaikan aplikasi permasalahan di dunia nyata.
1. Permasalahan Bidang Kendali ( Aplikasi Microcontroller)
Perkembangan teknologi kendali mengalami banyak kemajuan dan kendali konvensional ke kendali otomatik sampai ke kendali cerdas. Logika Fuzzy digunkaan sebagai sistem kendali, karena proses kendali ini relatif mudah, fleksibel, dan dirancang dengan tidak melibatkan model matematis yan rumit dari sistem yang akan dikendalikan.Permasalahan di bidang kendali biasanya adalah mengendalikan sesuatu ( actuar, motor dc, dan lain – lain) berdasarkan input dari sensor yang digunakan ( misalkan suhu, intesitas cahaya, dan lain – lain). Beberapa pengendalian menggunakan microcontroller sebagai unit processing-nya. Sedangkan untuk output biasanya menggunakan metode PWM untuk melakukan kendalinya. Pada sistem pengendalian fuzzy menggunakan microcontroller ini biasanya menggunakan metode Mamdani atau Sugeno.
2. Permasalahan Bidang Telekomunikasi ( Routing pada WSN)
Wireless Sensor Network (WSN) sebagai salah satu teknologi telekomunikasi bertujuan untuk mngurangi biaya infrastruktur dengan menggunakan komunikasi node to node baiik untuk aplikasi kota maupun aplikasi hutan. Masalah muncul secara alami, karena node dalam jaringan sensor nirkabel tersebar dan bekerja secara independen untuk setiap node.Masalah lain juga terjadi ketika data observasi telah dikumpulkan oleh semua node, data observasi tersebut harus dapat disampaikan kepada node teratas dengan error data minimum. Untuk dapat meminimalkan kesalahan pengirimkan data ketika data hasil pengamatan sensor dikirim ke node teratas, diperlukan adanya suatu algoritma yang mengatur routing (jalur pemilihan transmisi data) pada jaringan sensor nirkabel.
Algoritma routing adalah perilaku dari node jaringan yang mengatur tentang bagaimana node berkomunikasi antara satu sama lain dan memberikan data hasil pengamatan sensor dengan menggunakan komunikasi dan node ke node lainnya, dari node terjauh menuju node terdekat dengan node teratas (stasiun pengumpulan data). Dapat dengan mudah diketahui bahwa cara sederhana untuk mengirimkan dat ahsil pengamatan sensor adalah menggunakan routing jalur terpendek. Algoritma routing rute terpendek adalah algoritma unttuk menemukan jalur terpendek dari node terjauh ke node terminal lebih dekat dengan base stasiun.
3. Permasalah di Bidang Big Data ( Aplikasi Forecasting/Peramalan)
Salah satu permasalahan big data adalah forecasting atau perkiraan adalah cara untuk memberikan infromasi tambahan kepada para pembuat keputusan dengan mengolah data menjadi sebuah data yang menunjukkan tren pergerakan data tersebut dari waktu ke waktu, baik tren naik, tren turun, maupun trend datar.Pada contoh kasus ini, akan menggunakan data mentah berupa data – data penggunaan mesin ATM dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019. Dengan data – data mentah ini, akan memcoba untuk membuat perkiraan tentang kerusakan ATM yang terjadi karena penggunaan sehari – hari.
1. Pengumpulan Data Semesta
2. Mengelompokkan Data – Data
3. Menentukan Interval Setiap Kelompok ( Klasifikasi Data)
For businesses with global customer bases, the ability to offer multilingual support is, like my beloved Christmas breakfast burrito, massive. You can foun additiona information about ai customer service and artificial intelligence and NLP. It may not be feasible for every seller to have support agents covering every major language in the world, but it is feasible to employ AI translation tools to support them. As resolution processes change, AI ticketing can change how it sorts and tags conversations, assigning tickets and keeping agents on top of issues. AI can take over manual and routine tasks and automate processes so they happen instantly, no rep input necessary. Some tools, like chatbots, can handle entire tasks independently, while others take on smaller tasks to ensure reps aren’t spread as thin.
How AllSaints, L’Oreal and Deliveroo are using AI to improve CX – ComputerWeekly.com
How AllSaints, L’Oreal and Deliveroo are using AI to improve CX.
Thus, it is always good to identify customer pain points and essential journeys first to start with. Scant is known for overcoming these challenges when adopting and implementing AI-based technologies. This article presents the array of emerging technologies and offers a framework for organizational transformations with the AI-driven customer journey. The article aims to resolve the personalization-privacy paradox by introducing a solution matrix separating personalization from privacy concerns.
Voice recognition, meanwhile, digitizes words and encodes them with data such as pitch, cadence and tone, and then forms a unique voiceprint related to an individual. Machine learning algorithms on customer data can predict the customer churn, the reason behind churn, and methods to retain them. Many documentation tools have started using some form of generative AI to help your team.
Discover content
When using AI, be sure to set up an alert that notifies your service team if a customer is unhappy with your bot. If your chatbot has sentiment analysis capabilities, use it to gauge how frustrated a customer is and when your team should intervene. Lastly, there’s the raw ROI of integrating AI as a key tool for your customer service team.
They expect quick responses from service people, and rage increases the longer they wait. For example, the technology can identify patterns that indicate a customer’s intent based on web activity or text and route the call or chat to the appropriate agent. Intent prediction enables contact centers to up their game by giving customers the assistance they need in the way they want. Artificial intelligence (AI) – the science that deals with the creation of human-like learning and reasoning capabilities – has been catapulted into the spotlight in recent years.
But the compulsively antisocial part of my psyche that makes me not want to make phone calls also appreciates these shifts to using AI in customer service. Freaky or not, artificial intelligence is becoming as common as it is rapidly changing—here’s how companies like Blake’s are putting it to use. This AI tool identifies opportunities where human agents should step in and help the customer for added personalization.
Biometrics refers to body measurements and calculations for the purpose of authentication, identification and access control. Physical biometric solutions analyze parts of the human body, such as a person’s face, iris or fingerprints, while behavioral biometric solutions analyze other characteristics, such as gait, voice, or interaction with a device. The field is going mainstream with a 2017 Tractica report predicting that biometric hardware and software revenue will grow into a $15.1 billion worldwide market by 2025, at a CAGR of 22.9 percent. We’re looking forward to being your companion on this journey — that’s why we’re building thoughtful AI-powered features that only improve your customer conversations. With the introduction of generative AI, these customer insight tools can now generate actionable summaries of trends, highlights, and concerns from your customer data. Customer service leaders have known for ages that chat support is usually a cheaper and more efficient way to provide support.
Contact Center Pipeline reports that increasing the focus on coaching and development for agents is a top priority for contact center managers. AI-based call center training tools such as gamification, visual assistance and self-monitoring, cut down agent onboarding time and ensure reps are fully engaged from day one. NLP analysis also allows companies to extract product suggestions and complaints from online product reviews in order to proactively address any issues. These technologies enable companies to gain insights on a micro level — by understanding the emotions of each customer – as well as on a macro level, by keeping their finger on the pulse of their customer base’s opinions.
But while AI may be touted as the exclusive path to progress, it’s important to understand how it works; caution and a keen awareness of the technology’s limitations are going to be necessary. Our own research shows that, globally, an enormous $4.7 trillion is being left on the table each year thanks to negative customer experiences. As AI technology advances, we can expect to see even more innovative and effective uses in customer service. HomeServe USA, a prominent provider of home service plans, uses an AI-powered virtual assistant, Charlie, for their customer service. To manage this unprecedented volume without compromising on their high customer service standards, Decathlon turned to Heyday, a conversational AI platform. Facing challenges in supporting multiple languages and inconsistent ticket volumes, they turned to Zendesk, an integrated customer service platform.
First, we’ll take a look at how AI works, and then we’ll discuss the different ways you can use it to automate customer service tasks. Turn the people who know your business best into brand advocates with head-turning reward programs and impressive customer service. According to Lauren Hakim, a product marketer at Zendesk, proactive engagement is one of the most effective uses for AI-powered chatbots. A few leading institutions have reached level four on a five-level scale describing the maturity of a company’s AI-driven customer service.
For customers
With the launch of generative AI, many chatbot tools have started introducing the technology into their products. They’re becoming true chat “bots” — software that’s capable of understanding text inputs, then generating human-like responses based on the information they’ve ingested. The practical applications for organizations and customer service teams are still a work in progress, but smart assistants such as Alexa, Google Assistant and Siri are an exciting avenue for personalized service. Customers appreciate and prefer when an organization communicates via their preferred platform, and for some people, that may be via their smart home device. Imagine a future where a user can bypass a phone call or email and troubleshoot any product or service concern via a simple question to their smart speaker. Simplified communications like this could be the difference between a satisfied or frustrated customer.
The role of artificial intelligence in business in 2024 – Sprout Social
The role of artificial intelligence in business in 2024.
By leveraging tools like CallRail’s conversation intelligence software, customer service teams can operate with heightened efficiency, ensuring improved customer experiences. Engage is a pre-built, intelligent contact center platform that transforms customer service. Engage combines voice and digital communication channels to improve operational efficiency and deliver valuable insights. The platform uses Generative AI to enhance customer service interactions and create personalized experiences that cater to the changing needs of businesses and their customers.
AI can automate workflows to help close sales with chatbots that offer discounts, send reminders to the customer to complete the purchase, or proactively reach out to see if they have any questions. Leading natural language understanding (NLU) paired with advanced clarification and continuous learning help IBM watsonx® Assistant achieve better understanding and sharper accuracy than competitive solutions. The future of AI in customer service may still include chatbots, but this technology has a lot more to offer in 2023. It’s a great time to take advantage of the flexibility, efficiency, and speed that AI can provide for your support team.
AI-powered customer analytics and insights
By transitioning these frequently asked questions to a chatbot, the customer service team can help more people and create a better experience overall — while cutting operational costs for the company. When it comes to customer service, companies use AI to enhance the customer experience and enrich brand interactions. Instead of spending all of their time responding to client queries, service personnel have more flexibility to focus on activities that truly require human-to-human interaction. Using AI in customer service allows customer service teams to gather consumer insights.
A popular use of generative AI is to build a tool for answering basic customer questions that are covered by existing documentation.
This ensures your customers receive efficient support, regardless of their language.
Customer feedback is the best way to learn about your business and the helpfulness of your service processes directly from those who use what you sell.
But done well, an AI-enabled customer service transformation can unlock significant value for the business—creating a virtuous circle of better service, higher satisfaction, and increasing customer engagement.
By compiling this data en masse, businesses can see what’s driving real customers either toward or away from competitors based on customer service experiences.
While building out a robust knowledge base or FAQ page can be time consuming, self-service resources are critical when it comes to good CX. While chatbots are great at troubleshooting smaller issues, most aren’t ready to tackle complex or sensitive cases. AI technology can be used to reduce friction at nearly any point of the customer journey.
The resulting software is referred to as ‘Generative AI’ tools since they’re able to generate new content on command. In the customer service industry specifically, AI is a powerful force for improving the overall customer experience – and driving up customer satisfaction in the process. MyFashionGPT enhances product discovery by allowing customers to make natural language-based queries, providing them with a variety of options across related categories, and enabling the completion of desired looks effortlessly. As soon as Decathlon launched its digital assistant, support costs dropped as the tool automated 65% of customer inquiries.
Similar to infrastructure as a service (IaaS) and software as a service (SaaS), AIaaS offers a package that a third-party supplier hosts. This is an affordable and dependable replacement for software artificial intelligence customer support created by an internal team. With AIaaS, customers may take advantage of AI’s capabilities through tools and application programming interfaces (APIs) without needing to create intricate code.
These “answer and response” chatbots don’t use machine learning, NLP, or dialog management. This means that while chatbots may manage client requests that proceed in a predetermined manner, they cannot improvise in the event of unexpected twists. Collaborators can extract important information from client feedback using language analysis technologies and modify their messages.
Conversational AI customer service platforms – known as virtual assistants or chatbots – represent a promising technology that is already projected to cut business costs by as much as $8 billion in less than five years (Juniper). This is likely one reason why Oracle found that 80% of sales and marketing leaders say they currently use or plan to deploy chatbots in the near future. The company also licenses its brand to a lesser-known, independently operated sister company, Brinks Home. The Dallas-based smart-home-technology business has struggled to gain brand recognition commensurate with the Brinks name. It competes against better-known systems from ADT, Google Nest, and Ring, and although it has earned stellar reviews from industry analysts and customers, its market share is only 2%.
Once you’ve trained the AI model with your data, you’re ready to set up its next steps. Essentially—what should your model do once it’s reached a decision on each piece of data? Training your data with an AI tool is as easy as hitting go and waiting for the results. The AI model analyzes your data in order to make accurate predictions on new data—but these predictions are subject to a degree of uncertainty. That’s how you’ll train your own AI model to categorize data according to your specifications. This could help you notice trends and make product changes that will eliminate the problems customers are facing.
Can AI replace call center agents?
VR replaces the user’s view and provides a virtual environment on a 3D wearable frame. MR merges the real and virtual worlds and can project a virtual reality environment in natural surroundings. Imagine a shopping experience where customers enter a vegetable shop and find themselves in a mixed reality of a farm.
Even better, many customers prefer live chat over support channels like phone or email. Nearly 70% of consumers will try to solve a problem themselves first, and customers prefer help centers over all other self-service options. Although we use the term artificial intelligence when we talk about these tools, it’s important to understand that that’s more of a verbal shorthand than an accurate description of what’s happening under the hood. In the same way that a tailored shirt will fit you better than an off-the-rack one will, whether AI works for your organization depends on how well you understand your customers’ needs and your support team’s requirements. One area where AI is presently being used extensively and impacting is customer service. It is utilized in various ways to lower the cost of client service in sectors like fast food, banks, insurance, and retail.
Are there complexities in the return process that are driving customers to competitors? By compiling this data en masse, businesses can see what’s driving real customers either toward or away from competitors based on customer service experiences. While Interactive Voice Response (IVR) systems have been automating simple routing and transactions for decades, new, conversational IVR systems use AI to handle tasks. Everything from verifying users with voice biometrics to directly telling the IVR system what needs to happen with the help of natural language processing is simplifying the customer experience.
Many businesses currently employ chatbots to answer basic queries using information gathered from internal systems. Just like analyzing the sentiment of tickets, you can also analyze pieces of text—such as customer support queries and competitor reviews. You just need to set up the tags you want the AI model to use when analyzing and categorizing your text—as demonstrated below. With Zendesk, Rhythm Energy was able to spend less time training new agents while maintaining the same level of high-quality customer service. With access to the right data and customer context, bots can proactively make personalized recommendations based on a customer’s preferences, website behavior, previous conversations, and more. Rhythm Energy, a renewable energy company, uses bots to respond to customers quickly and reduce escalations to the support team.
Companies across all industries are putting personalization at the center of their enterprise strategies. For example, Home Depot, JPMorgan Chase, Starbucks, and Nike have publicly announced that personalized and seamless omnichannel experiences are at the core of their corporate strategy. The obvious winners have been large tech companies, which have embedded these capabilities in their business models. But challenger brands, such as sweetgreen in restaurants and Stitch Fix in apparel, have designed transformative first-party, data-driven experiences as well. Using sentiment analysis to analyze and identify how a customer feels is becoming commonplace in today’s customer service teams.
With Zendesk AI, Rhythm Energy deflected 46% more tickets and reduced escalations by 50%. The transformation resulted in a doubling to tripling of self-service channel use, a 40 to 50 percent reduction in service interactions, and a more than 20 percent reduction in cost-to-serve. Incidence ratios on assisted channels fell by percent, improving both the customer and employee experience. While a few leading institutions are now transforming their customer service through apps, and new interfaces like social and easy payment systems, many across the industry are still playing catch-up. Institutions are finding that making the most of AI tools to transform customer service is not simply a case of deploying the latest technology.
AI tools can listen to every interaction and score agents against things like script compliance, empathy and issue resolution, and even proactively book coaching sessions whenever a relevant opportunity arises. Natural language processing uses models trained on huge conversational data sets to be able to understand everything being said in real-time. And that means being able to understand the difference between outstanding service and an outstanding bill. Moreover, it efficiently routes calls to the right departments based on the customer’s needs and even offers real-time guidance to human agents during customer interactions.
However, with Zendesk, AI for customer service is accessible to anyone and sets up in minutes, not months. There’s no need for developers, data scientists, or a heavy IT lift, so your team can quickly deploy AI across your business and hit the ground running. It’s also intuitive for agents to use and available alongside all their tools in a centralized workspace. Implementing AI for customer service requires significant planning, testing, and refinement–which is why it’s so important to choose an AI solution that takes this work off your team’s plate.
That means there are a lot of simpler queries that can be offloaded to free up human agents for more pressing calls and interactions.
The AI has no idea it’s playing Super Mario, but it does know that whatever it did last time resulted in Mario dying – so next time it’ll do something different.
There are a lot of emotions involved, and while AI can efficiently tackle simple queries, it’s unable to show empathy.
The customer support team can assist more individuals and improve the overall experience by moving these commonly asked questions to a chatbot, all while lowering operational costs for the business.
Not to mention, learning how to operate each new tool and figuring out where it fits in your team’s workflow. ChatGPT, Microsoft Bing and Google Bard are all AI-powered tools that use large language models to train their understanding of how we use language to communicate. Charlie provides swift answers to customer queries, initiates the claims process, and schedules repair appointments. The fact that the digital assistant could understand and respond to over 1000 unique customer intentions is a testament to the power of AI.
Customers will simple requests are engaged with immediately, while those with more complex issues are met with a human response. And, if the AI can’t resolve the issue, it can redirect the call to a service agent who can. The AirHelp chatbot acts as the first point of contact for customers, improving the average response time by up to 65%. It also monitors all of the company’s social channels (in 16 different languages) and alerts customer service if it detects crisis-prone terms used on social profiles.